Sabtu, 25 Agustus 2018

Subuh Aku Jatuh

Siang, saat tiba di tukang urut patah tulang. Sudah ada 3 pasien di ruang tunggu.

Pasien 1: Seorang ibu dari Tj. Priok. Jatuh di kamar mandi. Tulang tangan kirinya geser. Sudah tiga bulan diurut. Sepekan dua kali balik. Alhamdulillah sudah 80% membaik

Pasien 2: Remaja putri usia 15 tahun. Jatuh saat main bola kasti. Kaki kanannya ketiban lawan. Bengkak kayak bakpao.

Pasien 3: Perempuan muda. Usia sekitar 30 tahun. Kaki kirinya dilindes ban motor CBR 250.

Pasien pertama masuk kamar. Tak begitu histeris. Karena sudah tahap pemulihan.

Giliran pasien kedua. Baru satu menit masuk. Menjerit, teriak, dan merintih kesakitan.

Pasien ketiga. "Ibu knp?". Tanya pak haji. "Anu pak haji. Kaki saya dilindes motor". "Oh, motornya gpp?". Canda pak haji.

Langsung teriak. "Aduuhhh pak haji, pelan-pelan dulu kalih. Sakiiiit pak haji. Udah... Udah.. Udaaaaahh pak haji.. "

Giliran saya masuk kamar pasien, dengan perasaan tak karuan.

"Kenape kaki?"
"Tadi subuh jatuh pak haji"
"Lah getol amat, subuh dah jatuh. Jatuh dari mana?"
"Lagi naik tangga, eh licin. Jatuh, terus kebanting dah"
"Terus tangganye gimana?"

Belum sempat saya jawab lagi. Kaki saya langsung diplintir abiiiiiiss....
Gila, jurus apaan yang die pake. Wadawww, sakiiiiiiitt pak hajiiiiiii...!

Selasa, 14 Agustus 2018

Ketemu Teman Lama di Acara Tahlilan, Tapi Saya Lupa Namanya


Teman saya berduka. Ibunya baru saja meninggal dunia. Setelah sakit 40 hari. Sakitnya ini: Diabetes.

Akibat sakitnya itu, beliau menjalani rawat inap. Kemudian bagian jari yang luka dipotong. Tapi setelah dua jari hilang, penyakit tidak kunjung pergi. Bahkan bertambah lukanya ke bagian atas kaki.

Minggu dini hari sang ibu meninggal dunia.

Malam Selasa saya baru bisa datang. Bertepatan dengan malam kedua acara tahlilan. Nah, di acara tahlilan itulah saya ketemu teman lama.

Dia lebih dulu mengenali dan menyapa saya. Kami ngobrol dan bernostalgia. Tapi, yang jadi soal, mengapa setiap pertanyaan yang saya lontarkan, dia seperti agak bingung. Dan jawabannya nggak nyambung.

Saat kembali ke rumah, saya baru ingat. Kalau saya salah duga dan salah nama. Pantas saja dia kikuk dengan beberapa pertanyaan saya. Wong itu bukan tentang dirinya. Dan bukan dirinya saat kami mengalami masa indah saat bersama dulu.

Toh, akhirnya memang benar. Saya belum juga ingat namanya sampai malam berganti pagi.

Ayah: Inspirasi Sejati dalam Kehidupan Kami

Sebuah Kisah dari Perspektif Anak Namaku Taqiyyah, anak kedua dari lima bersaudara. Kami lahir dan tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan c...